Untuk Armada Pustaka bergerak itu diprioritaskan untuk aksara dasar, sedangkan Nusa Pustaka sudah tahap membaca, konsultasi dan mencari referensi.
"Banyak yang datang di Nusa Pustaka itu konsultasi skripsi, advokasi lingkungan. Kalau pustaka bergerak itu sederhana saja kegiatannya, tidak berat, kayak rekreasi," tukasnya.
"Kita harus perhatikan anak-anak pulau. Kayak di pulau Sagori itu anak-anak Bajo yang tidak pernah lihat buku-buku berwarna," tambahnya.
Namun demikian, Ridwan yakin, dari puluhan anak-anak pasti ada satu atau orang terekam di memorinya dan mulai rajin membaca.
"Kalau targetnya datang bawa buku dan anak-anak jadi juara kelas tidak mungkin," tegas pria yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Saat ini, pihaknya tengah membuat Perahu Pustaka 3 dengan kapasitas lebih besar. Pengerjaannya masih lama karena sambil mengumpulkan dana.
"Pembuatannya bisa mencapai Rp 60 juta, pengerjaannya kita cicil. Kalau ada uang dikerjakan lagi sama pembuat perahunya," tambahnya.
Selama kegiatan, pihaknya tidak menemui hambatan atau kendala karena masyarakat menerima dengan baik.
"Untuk di pesisir kita diterima baik, kan sebelumnya saya sudah sering berlayar juga. Ada pengalaman Perahu Pustaka 1 terbalik di laut pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka karena muatanya banyak dan saat itu Bang Maman Suherman ada dalam perahu," kenang mantan wartawan Radar Sulbar ini.
Hampir semua warga di pantai berkerumun berupaya menyelamatkan mereka dan ratusan buku basah.
Tiga relawan penggerak
Menurut Ridwan, ada delapan relawan yang menggerakkan Armada Pustaka. Namun, hanya tiga yang aktif karena selebihnya mereka telah memiliki pekerjaan tetap sehingga baru bisa membantu kegiatan Armada Pustaka bila ada waktu.
Para relawan ini diberikan kesempatan untuk mengikuti beberapa kegiatan untuk menambah wawasan dan pengetahuan di luar Sulbar.
"Belum lama ini Urwa dan Ashari kita kirim untuk pelatihan di Maros dan akamodasinya Armada Pustaka yang tanggung. Bulan Juni nanti di Bali, Urwa dan Ashari kita kirim lagi, lalu mereka akan share ke teman-teman yang lain," tambahnya.
Urwa (26), pria lulusan Fisip ini bergabung di Armada Pustaka sejak tahun 2015. Tetapi, ia sudah mengenal Ridwan sejak masih di bangku kuliah dan sering diskusi.
Meski tidak digaji, ia bekerja untuk mengabdi kepada masyarakat. Begitu juga orangtuanya tidak komplen dan menyetujui anaknya menjadi relawan di Armada Pustaka.
"Biasanya orang sudah sarjana, pingin jadi PNS dan cari proyek. Itu kan percuma kuliah tinggi dan urus kampung orang lain tanpa urus kampung sendiri jadi hampa ilmunya," ungkap Urwa di Nusa Pustaka.
Pria yang juga kerabat dekat almarhum Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung RI ini bercerita bahwa pengalaman yang berharga selama menjadi relawan, ia bisa mengetahui psikologi anak-anak dan mengenal banyak karakter orang yang dijumpainya.
"Saya kan khusus bawa ATV keliling wilayah pedesaan dan kampung-kampung di atas bukit, jadi saya belajar otodidak mendekati anak-anak dan tau apa buku kesukaanya," terangnya.
Menurutnya, jika membawa buku ke daerah pegunungan tentunya harus mengetahui medan yang akan dilalui. Misalnya peralatan harus dipastikan sudah beres dan bukunya tidak perlu banyak akibat akses jalan rusak.
"Motivasi saya gabung adalah panggilan hati nurani. Saya hanya bermodalkan kesabaran dan keikhlasan menjadi relawan di sini," tutur relawan yang biasa mengendarai ATV Pustaka.
Hal yang sama juga dikatakan Anis. Pria lulusan Universitas Tomakaka (Unika) di Majene, Sulbar.
Ia mengaku, sangat senang membantu di Nusa Pustaka. Sehari-harinya, ia bertugas di Nusa Pustaka dan melayani para pengunjuk perpustakaan itu.
"Orangtua mendukung kegiatan saya, jadi tidak ada masalah selama kegiatanya positif," katanya singkat.
Farhana (14), salah seorang santri Pondok Pesantren Nuhiyah Pambusuang, menuturkan bahwa sejak adanya perpustakaan ini ia sering berkunjung dan membaca.
Dia mengenal Nusa Pustaka dari para relawan dan teman-temannya yang sudah pernah berkunjung.
"Buku yang sering saya baca tentang perjuangan perempuan dan sejarah islam," ujarnya.
Saat ini, Armada Pustaka memiliki koleksi buku hampir 100.000 buku.
Perpustakaannya itu seluruhnya dari dukungan sumbangan-sumbangan, sebagian dari rekan-rekannya, dan orang-orang yang melihat kegiatannya di media sosial.
Pada Hari Buku sedunia, tepatnya pada 23 April 2017, Armada Pustaka meluncurkan TV komunitas yang diberi nama TV Kabar Pambusuang. Tujuannya untuk memberi pilihan tontonan kepada masyarakat dari acara televisi swasta yang dinilai tidak berkualitas.
Selain itu, ada juga website yang juga diberi nama Kabarpambusuang.com.
Di tahun ketiga ini, Ridwan berharap komunitasnya bisa lebih berkembang dan memiliki sumber pendapatan tetap.
Desa Pambusuang sendiri adalah desa kaya akan kebudayaan maritim, di antaranya ada perahu Sandeq dan Tenun Sutra Mandar. Di Desa Pambusuang juga lahir tokoh nasional, almarhum Baharuddin Lopa yang dikenal sangat jujur dan berani. Maka tak salah jika foto mantan Jaksa Agung di era pemerintahan Gus Dur itu terpampang rapi di ruangan Nusa Pustaka.
Menurut UNESCO, Indonesia telah membuat langkah besar untuk mengurangi buta huruf dalam beberapa tahun terakhir. Angka buta huruf turun dari 15,4 juta pada 2004 menjadi 6,7 juta pada 2011. (adm)
"Banyak yang datang di Nusa Pustaka itu konsultasi skripsi, advokasi lingkungan. Kalau pustaka bergerak itu sederhana saja kegiatannya, tidak berat, kayak rekreasi," tukasnya.
"Kita harus perhatikan anak-anak pulau. Kayak di pulau Sagori itu anak-anak Bajo yang tidak pernah lihat buku-buku berwarna," tambahnya.
Namun demikian, Ridwan yakin, dari puluhan anak-anak pasti ada satu atau orang terekam di memorinya dan mulai rajin membaca.
"Kalau targetnya datang bawa buku dan anak-anak jadi juara kelas tidak mungkin," tegas pria yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Seorang anak sangat serius membaca buku di Nusa Pustaka. (Foto : Istimewa) |
Saat ini, pihaknya tengah membuat Perahu Pustaka 3 dengan kapasitas lebih besar. Pengerjaannya masih lama karena sambil mengumpulkan dana.
"Pembuatannya bisa mencapai Rp 60 juta, pengerjaannya kita cicil. Kalau ada uang dikerjakan lagi sama pembuat perahunya," tambahnya.
Selama kegiatan, pihaknya tidak menemui hambatan atau kendala karena masyarakat menerima dengan baik.
"Untuk di pesisir kita diterima baik, kan sebelumnya saya sudah sering berlayar juga. Ada pengalaman Perahu Pustaka 1 terbalik di laut pada 13 Maret 2016, tepat pada hari peresmian Nusa Pustaka karena muatanya banyak dan saat itu Bang Maman Suherman ada dalam perahu," kenang mantan wartawan Radar Sulbar ini.
Hampir semua warga di pantai berkerumun berupaya menyelamatkan mereka dan ratusan buku basah.
Tiga relawan penggerak
Menurut Ridwan, ada delapan relawan yang menggerakkan Armada Pustaka. Namun, hanya tiga yang aktif karena selebihnya mereka telah memiliki pekerjaan tetap sehingga baru bisa membantu kegiatan Armada Pustaka bila ada waktu.
Para relawan ini diberikan kesempatan untuk mengikuti beberapa kegiatan untuk menambah wawasan dan pengetahuan di luar Sulbar.
"Belum lama ini Urwa dan Ashari kita kirim untuk pelatihan di Maros dan akamodasinya Armada Pustaka yang tanggung. Bulan Juni nanti di Bali, Urwa dan Ashari kita kirim lagi, lalu mereka akan share ke teman-teman yang lain," tambahnya.
Urwa (26), pria lulusan Fisip ini bergabung di Armada Pustaka sejak tahun 2015. Tetapi, ia sudah mengenal Ridwan sejak masih di bangku kuliah dan sering diskusi.
Meski tidak digaji, ia bekerja untuk mengabdi kepada masyarakat. Begitu juga orangtuanya tidak komplen dan menyetujui anaknya menjadi relawan di Armada Pustaka.
"Biasanya orang sudah sarjana, pingin jadi PNS dan cari proyek. Itu kan percuma kuliah tinggi dan urus kampung orang lain tanpa urus kampung sendiri jadi hampa ilmunya," ungkap Urwa di Nusa Pustaka.
Pria yang juga kerabat dekat almarhum Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung RI ini bercerita bahwa pengalaman yang berharga selama menjadi relawan, ia bisa mengetahui psikologi anak-anak dan mengenal banyak karakter orang yang dijumpainya.
"Saya kan khusus bawa ATV keliling wilayah pedesaan dan kampung-kampung di atas bukit, jadi saya belajar otodidak mendekati anak-anak dan tau apa buku kesukaanya," terangnya.
Menurutnya, jika membawa buku ke daerah pegunungan tentunya harus mengetahui medan yang akan dilalui. Misalnya peralatan harus dipastikan sudah beres dan bukunya tidak perlu banyak akibat akses jalan rusak.
"Motivasi saya gabung adalah panggilan hati nurani. Saya hanya bermodalkan kesabaran dan keikhlasan menjadi relawan di sini," tutur relawan yang biasa mengendarai ATV Pustaka.
Hal yang sama juga dikatakan Anis. Pria lulusan Universitas Tomakaka (Unika) di Majene, Sulbar.
Ia mengaku, sangat senang membantu di Nusa Pustaka. Sehari-harinya, ia bertugas di Nusa Pustaka dan melayani para pengunjuk perpustakaan itu.
"Orangtua mendukung kegiatan saya, jadi tidak ada masalah selama kegiatanya positif," katanya singkat.
Farhana (14), salah seorang santri Pondok Pesantren Nuhiyah Pambusuang, menuturkan bahwa sejak adanya perpustakaan ini ia sering berkunjung dan membaca.
Dia mengenal Nusa Pustaka dari para relawan dan teman-temannya yang sudah pernah berkunjung.
"Buku yang sering saya baca tentang perjuangan perempuan dan sejarah islam," ujarnya.
Saat ini, Armada Pustaka memiliki koleksi buku hampir 100.000 buku.
Perpustakaannya itu seluruhnya dari dukungan sumbangan-sumbangan, sebagian dari rekan-rekannya, dan orang-orang yang melihat kegiatannya di media sosial.
Pada Hari Buku sedunia, tepatnya pada 23 April 2017, Armada Pustaka meluncurkan TV komunitas yang diberi nama TV Kabar Pambusuang. Tujuannya untuk memberi pilihan tontonan kepada masyarakat dari acara televisi swasta yang dinilai tidak berkualitas.
Selain itu, ada juga website yang juga diberi nama Kabarpambusuang.com.
Di tahun ketiga ini, Ridwan berharap komunitasnya bisa lebih berkembang dan memiliki sumber pendapatan tetap.
Foto : Istimewa |
Desa Pambusuang sendiri adalah desa kaya akan kebudayaan maritim, di antaranya ada perahu Sandeq dan Tenun Sutra Mandar. Di Desa Pambusuang juga lahir tokoh nasional, almarhum Baharuddin Lopa yang dikenal sangat jujur dan berani. Maka tak salah jika foto mantan Jaksa Agung di era pemerintahan Gus Dur itu terpampang rapi di ruangan Nusa Pustaka.
Menurut UNESCO, Indonesia telah membuat langkah besar untuk mengurangi buta huruf dalam beberapa tahun terakhir. Angka buta huruf turun dari 15,4 juta pada 2004 menjadi 6,7 juta pada 2011. (adm)