Anak-anak Rumah Belajar Bibinoi yang dibuka di atas teras rumah panggung di Desa Bibinoi, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara. (Foto : Istimewa) |
Musik tradisional asal Jawa Barat itu dimainkan oleh anak-anak perempuan yang tergabung dalam Rumah Belajar Bibinoi (Rubi). Permainan musik yang terbuat dari bambu itu dipandu oleh seorang pemuda desa bernama lengkap Nasyarudin Kamarullah (28), orang-orang di Desa Bibinoi lebih mengenalnya dengan nama panggilan Syamil.
Dengan penuh kesabaran, Syamil mengajarkan nada demi nada permainan angklung tersebut kepada anak-anak di Rumah Belajar Bibinoi.
Anak-anak yang lain terlihat gemulai menari tari dendang asal Pulau Bacan. Tarian ini biasa dipersembahkan untuk tamu Kesultanan Bacan. Mereka menari sendiri tanpa diajarkan.
Permainan musik angklung itu dipelajari Syamil saat belajar di Saung Udjo Bandung. Dia pun memboyong satu perangkat musik angklung ke desanya.
Bermain angklung dan menari dilakukan anak-anak Bibinoi di teras Rumah Belajar Bibinoi. Di dalam perpustakaan, beberapa anak lain mulai mendongeng di hadapan rekan-rekannya yang lain sembari dipandu pendiri Rumah Belajar Bibinoi, Syamil.
Kemudian, anak-anak perempuan berebutan buku sumbangan dari Kompas Gramedia Jakarta. Mereka mulai membaca buku di beranda rumah panggung tersebut, dan sebagian lagi memilih menyudut dalam ruangan perpustakaan Rumah Belajar Bibinoi.
Menurut Syamil, kegiatan anak-anak Rubi itu tetap berjalan meski dirinya tidak berada di Desa Bibinoi. Mereka belajar, menari dan mendongeng biasanya dibimbing anak- anak perempuan yang telah menginjak bangku SMA.
"Hari ini memang tidak keliatan anak-anak laki-laki kan hari libur, jadi mereka membantu orangtuanya di kebun. Kalau tidak libur mereka pasti datang selepas pulang sekolah dan beres-beres di rumahnya," ungkap pria yang pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka Jakarta.
Anak-anak di Rubi tidak melulu membaca buku. Dia memperkenalkan minat bakat anak Rubi dengan menari, bermain musik dan mendongeng.
"Kalau hanya membaca buku anak-anak bisa bosan, nah kami rancanglah bagaimana anak-anak bisa berekspresi sendiri dan tuangkan bakat mereka dan bisa tau bagaimana potensi diri dikembangkan," imbuhnya.
Begitu juga dengan penataan buku di rak-rak perpustakaan Rubi. Mereka mendapat keterampilan menyusun buku dari pendiri Rumah Belajar Bibinoi, Syamil, seperti yang dituturkan Zahra Said (15), siswa SMA kelas 2 SMAN 15 Bibinoi.
"Saya yang pegang kunci pintu Rubi, bersihkan dan susun buku-buku dibantu adik-adik yang lain juga," katanya.
Syamil saat membimbing anak-anak Rumah Belajar Bibinoi belajar mendongeng di Desa Bibinoi, Kecamatan Bacan Timur Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara. (Foto : Istimewa) |
Kebanyakan anak-anak Rubi suka membaca buku cerita rakyat dan buku-buku bergambar, termasuk buku komputer dan ilmu pengetahuan lainnya.
"Usia adik-adik yang sering datang ke sini sekitar 10 dan 11 tahun. Rubi buka mulai pukul 14.00 siang dan tutup sekitar pukul 17.30 sore," ujarnya.
Pernah "diusir"
Syamil mengagas ide pembentukan Rumah Belajar Bibinoi tahun 2009 hampir bersamaan dengan pendirian organisasi remaja desa yang ia beri nama Ikatan Remaja Bibinoi (IRBI).
Inisiatif terbentuknya Rumah Belajar Bibinoi itu atas kegelisahan Syamil melihat kondisi realitas di desanya, banyak kasus anak putus sekolah dan pergaulan anak-anak di desa yang tidak terkontrol.
Saat itu, ia masih kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.
"Pada semester akhir kuliah saya pulang ke Desa dan melihat perkembangan anak-anak sangat kritis. Seperti kurangnya akses akan pendidikan terutama akan buku juga tehnologi sangat minim," ungkapnya.
Kemudian, Syamil mendekati beberapa siswa dan anak-anak muda desa untuk memfasilitasi mereka terutama pembelajaran di sekolah. Apa saja yang kurang di sekolah, lalu ia mencoba merangsang mereka untuk mau belajar di rumah atau privat.
"Saya tawari mereka mata pelajaran matematika, fisika dan yang lainnya. Saya berfungsi sebagai mediator dan anak-anak semakin banyak datang ke rumah," tuturnya.
Karena teras rumahnya sempit, akhirnya Syamil meminjam ruangan kelas di sekolah. Tapi, ia mendapat kendala dari guru-guru di sekolah karena menggangap mereka tidak mendukung keberadaan sekolah di desanya. Akhirnya, ia meminjam tempat untuk belajar dan didapatlah lantai dua kantor desa yang tidak terpakai.
"Empat bulan berjalan saya kembali ke Makassar untuk wisuda dan saya gabung di komunitas Makassar Gemar Membaca dan jadi relawan di situ. Saya pulang ke Desa dengan membawa buku untuk perpustakaan," imbuhnya.
Hampir setahun peresmian Rumah Belajar Bibinoi, tantangan kembali menghadang. Kepala Desa saat itu "mengusir" mereka agar pindah dari kantor desa dengan alasan akan diperbaiki dan akan digunakan.
Dia bersama anak-anak Rubi mencari dukungan kepada tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda, namun tetap tidak bisa.
"Sampai sekarang kantor desa itu belum diperbaiki dan tidak juga digunakan. Kenapa saya gunakan kantor desa yang lokasi tepat di tengah desa itu, karena melihat konflik horizontal tahun 1999 di mana anak-anak kristen tidak lagi bergaul dengan anak-anak muslim," tukasnya.
Dengan adanya Rubi ini, pria yang juga menjadi kepala SMK termuda ini berniat untuk menyambungkan silaturahim anak-anak tersebut. Mulai dengan buku ia perkenalkan bagaimana saling berinteraksi kembali dan tidak ada lagi perbedaan Kristen dan Muslim di Bibinoi.
Orangtua dari anak-anak Rubi yang merasa prihatin dengan kondisi itu berusaha mengumpulkan kayu papan dan kayu balok untuk membangun kembali Rumah Belajar di lahan keluarganya yang digunakan hingga saat ini.
"Alhamdullilah ada orangtua anak-anak Rubi menyumbangkan lemari, kursi dan meja-meja belajar. Ada juga sumbangan buku dari komunitas literasi di Jakarta," ucapnya senang.
Bersambung